today's information

08 April 2008

Kesalahan Terbesarku Hari Ini

Kuberikan sisa uang dikantong kanan celanaku, hanya tersisa sekeping uang recehan yang bahkan untuk membeli segelas es teh di warung pun aku hanya akan ditertawai oleh penjualnya. Tapi biarlah, ku kira dari pada tidak memberi sama sekali. Toh, orang tua dengan muka lelah peyotnya itu merasa dikasihi sedikit dari makhluk sesama vertabrate sepertinya. Tangan keriput dengan urat yang sudah mulai menghiasi permukaan kulitnya itu masih bisa kuingat dengan jelas hingga saat ini. Perempuan tua yang lingkar matanya sudah nampak jelas, wajah tua itu, wajah yang kerut-kerut nya sudah merata dari kening hingga pipinya, rambut yang tak lagi sepenuhnya hitam karena dihiasi oleh helaian-helaian uban disetiap inchi nya, nampak jelas sudah di depanku tadi seorang wanita tua, miskin yang di pundaknya memanggul beban yang sangat berat untuk sekedar memberi anak-anaknya makan sehari saja.

Sholat ashar kutunaikan di masjid kampus, setelah memberikan recehan uangku pada wanita tua itu. Penyegaran kembali sel-sel kulit di permukaan epidermis menjalar keseluruh tubuh yang tadinya carut marut membuat semua orang ngeri memandangku.

Langit mulai menampakkan wajah muramnya, awan kelabu mulai datang memenuhi cakrawala, sekejap atmosfer lapisan troposfer menjadi semakin gelap. Mahasiswa yang tadinya senyam-senyum di beranda masjid mulai berlarian naik kendaraan masing-masing. Ingin ku kenakan kaos kaki dan sepatuku, tapi mataku lebih tertarik memandang realita di depan ku, kurang lebih 6 meter , lebih 20 cm kembali kutemui profil wanita tua yang tadi di depanku dan kuberi recehan dari kantong ku. Untuk kesekian kalinya aku terkejut, namun hanya bingung, mau berbuat apa saat itu. Nenek tua yang tingginya kira-kira hanya sama dengan seperempat pemain basket nasional itu memanggul karung goni yang biasanya untuk karung beras itu, isinya berupa bongkahan-bongkahan kayu bekas yang sudah tidak terpakai sisa pembangunan masjid. Ukuran karung goni itu bahkan lebih besar dari ukuran tubuhnya sendiri, pemandangan yang benar-benar mengharuskan aku beristighfar dalam hati karena dijaman dikala kebanyakan orang naik mobil mewah kemana-mana terjadi fenomena yang ironis, mengharuskan aku menyalahkan diriku sendiri karena aku tidak dapat berbuat apa-apa, dan membuat hati serasa menangis ingin menyalak-nyalak pada penguasa dzalim yang memonopoli kekuasaan kapitalis negeri ini. Lalu disetiap langkah wanita tua meninggalkan kompleks masjid kampus itu, terasa sangat berat, padahal angin yang membawa hujan deras malam ini sudah berpusar membuat kucing persia pun kedinginan.
Dalam hati aku bingung, ini adalah kesalahan terbesarku hari ini.. aku hanya terdiam tak bisa berbuat apa-apa ketika, nyata-nyata di depanku ada salah satu korban kapitalisme.

Lanjut Baca Bos...

02 April 2008

Wedangan Lagi

Sekedar makan nasi goreng ala wedangan Solo, masih saja dengan secangkir kopi hangat sederhana, harum kopi malam itu memerintahkan sang malas dan bad mood sekejap pergi dari tempurung kepalaku. Temaram cahaya lampu pinggir jalan raya di daerah manahan, menambah suasana semakin hangat. Berbaris rapi laksana pasukan perang mongol puluhan pohon Fillicium desipiens (sori klo salah tulis, red) memagari jalan raya manahan, menambah suasana asri khas kota Solo semakin memesona. Tetap indah dan membawa memory tersendiri walau banyak gejolak sosial disana-sini.

"Sig, ada yang mau ketemu sama kita di wedangan, kamu bisa ga malam ini?sekarang!"
adalah sms yang membawa ku ke wedangan ini, hanya gubuk kecil dengan tenda bencana berwarna orange, didalamnya sebuah meja yang sudah include dengan gerobak dan kompor yang ditanam di gerobak bagian pinggir, biasanya dengan 3 teko ajaib yang digunakan untuk memanaskan air atau untuk "bakarin Pak, sundukan telor dan tahu/tempe". Namun potensi wedangan inilah yang menjadikanya mistery yang mungkin hingga 20 th kedepan akan tetap menjadi wacana, fakta bahwa di wedangan-wedangan seperti inilah "loby - loby" kelas atas lahir.

bukan sembarang wedangan, wedangan itu bukan sembarangan.. Ternyata benar, ditengah gedung-gedung bertingkat , mall-mall berAC yang arogan, rumah mewah milik bos besar, kantor-kantor dinas kota, lapangan dan GOR olahraga, arena bermain untuk anak muda, taman kota yang indah, jalan raya yang hitam mengkilat penuh fatamorgana masih saja menyimpan secercah tradisi yang menawan. Aset lokal, yang menjadi sebuah kearifan lokal yang perlu di lestarikan dan dilindungi. Sengaja menyingkir sejenak dari kepenatan kehidupan yang serba fana, kembali ke wedangan adalah sebuah refleksi bahwa semua hal yang kulakukan apa pun itu, permasalahan yang timbul sehari-hari dari sejak mata masih lengket semua hingga kulit mulai terkena panas sinar matahari yang sudah mulai over heat, hingga matahari mengucapkan selamat tinggalnya kepada ku dengan senjanya... adalah sebuah siklus.. adalah sebuah kenyataan yang mau tak mau itulah yang kuhadapi sekarang.. itulah potongan-potongan mozaik kehidupan yang sedang ku susun untuk menciptakan bentuk yang indah.
sebuah kata tak indah kalau tak ada jeda kawan. Semua akan bertahan karena ada jarak, ada spasi yang menjadikan hidup ini adalah irama
(dikutip dari Dee, filosofi Kopi dengan sedikit perubahan, red).

aku hanya berdoa dan berkarya.... well, semoga dengan pertemuan di wedangan itu semua akan menjadi lebihbaik

Lanjut Baca Bos...
Google
 
your search end here