Kuberikan sisa uang dikantong kanan celanaku, hanya tersisa sekeping uang recehan yang bahkan untuk membeli segelas es teh di warung pun aku hanya akan ditertawai oleh penjualnya. Tapi biarlah, ku kira dari pada tidak memberi sama sekali. Toh, orang tua dengan muka lelah peyotnya itu merasa dikasihi sedikit dari makhluk sesama vertabrate sepertinya. Tangan keriput dengan urat yang sudah mulai menghiasi permukaan kulitnya itu masih bisa kuingat dengan jelas hingga saat ini. Perempuan tua yang lingkar matanya sudah nampak jelas, wajah tua itu, wajah yang kerut-kerut nya sudah merata dari kening hingga pipinya, rambut yang tak lagi sepenuhnya hitam karena dihiasi oleh helaian-helaian uban disetiap inchi nya, nampak jelas sudah di depanku tadi seorang wanita tua, miskin yang di pundaknya memanggul beban yang sangat berat untuk sekedar memberi anak-anaknya makan sehari saja.
Sholat ashar kutunaikan di masjid kampus, setelah memberikan recehan uangku pada wanita tua itu. Penyegaran kembali sel-sel kulit di permukaan epidermis menjalar keseluruh tubuh yang tadinya carut marut membuat semua orang ngeri memandangku.
Langit mulai menampakkan wajah muramnya, awan kelabu mulai datang memenuhi cakrawala, sekejap atmosfer lapisan troposfer menjadi semakin gelap. Mahasiswa yang tadinya senyam-senyum di beranda masjid mulai berlarian naik kendaraan masing-masing. Ingin ku kenakan kaos kaki dan sepatuku, tapi mataku lebih tertarik memandang realita di depan ku, kurang lebih 6 meter , lebih 20 cm kembali kutemui profil wanita tua yang tadi di depanku dan kuberi recehan dari kantong ku. Untuk kesekian kalinya aku terkejut, namun hanya bingung, mau berbuat apa saat itu. Nenek tua yang tingginya kira-kira hanya sama dengan seperempat pemain basket nasional itu memanggul karung goni yang biasanya untuk karung beras itu, isinya berupa bongkahan-bongkahan kayu bekas yang sudah tidak terpakai sisa pembangunan masjid. Ukuran karung goni itu bahkan lebih besar dari ukuran tubuhnya sendiri, pemandangan yang benar-benar mengharuskan aku beristighfar dalam hati karena dijaman dikala kebanyakan orang naik mobil mewah kemana-mana terjadi fenomena yang ironis, mengharuskan aku menyalahkan diriku sendiri karena aku tidak dapat berbuat apa-apa, dan membuat hati serasa menangis ingin menyalak-nyalak pada penguasa dzalim yang memonopoli kekuasaan kapitalis negeri ini. Lalu disetiap langkah wanita tua meninggalkan kompleks masjid kampus itu, terasa sangat berat, padahal angin yang membawa hujan deras malam ini sudah berpusar membuat kucing persia pun kedinginan.
Dalam hati aku bingung, ini adalah kesalahan terbesarku hari ini.. aku hanya terdiam tak bisa berbuat apa-apa ketika, nyata-nyata di depanku ada salah satu korban kapitalisme.
Lanjut Baca Bos...